Rabu, 21 Mei 2014

Prespektif Dosen Saya



didinmahardi.blogspot.com – Diantara dosen-dosen saya, ada seorang dosen yang saya suka pemikiran-pemikirannya. Sering melontarkan pemikiran-pemikiran yang berlawanan dengan wawasan umum. Dan saya suka dengan hal-hal baru seperti itu. Namun meskipun saya suka, bukan berarti saya mendukung atau setuju dengan setiap pemikiran beliau. Tetap ada pro dan kontra.

Pertama kali saya bertemu dengan beliau, saat masih semester satu. Pertemuan yang agak buruk sebenarnya. Ceritanya saat itu mata kuliah yang beliau ampu jadwalnya diajukan. Dan sialnya, saya tidak tahu tentang perubahan jadwal itu. Jadwal yang awalnya masuk jam 14:40, diajukan menjadi 13:30. Pertemuan pertama, saya masuk kelas masih berpedoman pada jadwal yang lama. Jam 14:40. Otomatis ketika saya baru masuk kelas, sontak teman-teman menjadi ribut. Saya masih tetap plonga-plongo tidak tahu apa yang diributkan teman-teman. Belum ada 10 menit saya duduk, Pak Dosen sudah mengakhiri kuliahnya. Dan saat itu saya baru sadar kenapa teman-teman bersorak heboh barusan. Menyadari hal itu, saya cuma bisa meringis, cuek aja, dan sok cool hehe. . . .

Pertemuan kedua, konflik berawal dari sini. Saya lupa saat itu kelas kami sedang membahas apa, tiba-tiba Pak Dosen melontarkan pemikirannya. Kata beliau. Sebenarnya ketika kita menyentuh Al Quran, tidak perlulah berwudhu dulu. Karena ayat yang digunakan fuqoha ketika menetapkan hukum harus berwudhu dulu ketika mau menyentuh Al Quran, itu tidak relefan. Tidak pas.

 
Ayat laa yamassuhu illal mutohharun (tidak boleh menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci) tidak cocok jika digunakan sebagai dasar. Karena, ketika ayat ini diturunkan, Al Quran belum dibukukan. Jadi, menurut beliau, dhomir hu dalam ayat tersebut kembalinya bukan kepada Al Quran seperti yang kita pegang saat ini. Tapi kepada Al Quran yang ada di al lauhul mahfudh. Sedangkan lafadh mutohharun disitu maknanya adalah malaikat-malaikat.

Tentu saja, sebagai bocah yang baru keluar dari pesantren, dan belum terlalu lama bergelut dengan pemikiran-pemikiran baru, saya agak sewot waktu itu. Namun rasa sewot saya tidak bisa saya lontarkan. Ditahan oleh teman saya (jam kuliah sudah hampir habis, kepulangan teman-teman bisa tertunda kalau saya masih ngeyel hehe, , ,). Akhirnya saya cuma bisa memendam ke-sewot-an saya dalam hati saja. “Memangnya siapa sih Dosen ini, berani-beraninya mengkritik Imam Syafi’i” batin saya saat itu.

Mengenai keharusan berwudhu sebelum memegang Al Quran itu, saya memiliki prespektif lain. Memang benar jika Al Quran belum dibukukan ketika ayat itu turun. Tapi sudah banyak sahabat Nabi yang menulis Al Quran dalam berbagai media. Atau tidakkah kita patut menghormarmati Al Quran?, sebagai kitab suci, atau bahkan sebagai Kalam Allah.

Belakangan baru saya sadar, ini Jogjakarta kawan, kota yang menerima siapa saja. Orang dengan latar belakang apapun boleh datang kesini. Belakangan saya juga belajar, bagaimana menghormati dan menyikapi suatu perbedaan. Karena dengan melihat dan menerima perbedaan, kita bisa menilai apa-apa yang kurang dari kita. Kita juga bisa mengetahui apa kelebihan kita. Akhirnya, bukankah perbedaan itu indah?. Dengan berbeda, kita bisa saling melengkapi. Meskipun sebenarnya masih banyak juga perbedaan-perbedaan yang belum menemukan titik temu.

Makanya ketika semester ini saya kembali bertemu dengan beliau, saya justru senang. Akan mendapat wawasan-wawasan baru. Yang bukan hanya aneh, tapi juga kontrofersial.

Beberapa hal yang pernah beliau lontarkan disemester ini, di antaranya tentang natal. Bahwa mengucapkan “selamat natal” itu hukumnya tidak haram, bahkan sunah. Dasarnya ada di Al Quran surat Maryam ayat 33 katanya. Saya tidak tahu harus berkomentar bagaimana untuk pendapat ini.

Tentang adzan yang menggunakan pengeras suara. Adzan yang mnggunakan pengeras suara itu merupakan bentuk pemaksaan. Memaksa orang yang seharusnya tidak perlu sholat di Masjid harus ke Masjid. Karena pada masa Rasulullah adzan-nya tidak menggunakan pengeras suara. Jadi jangkauan suaranya tidak seluas seperti saat ini. Untuk pemikiran yang ini, saya memiliki prespektif yang berbeda. Karena, seandainya pada masa Rasulullah sudah ada pengeras suara, tentulah beliau akan menggunakan pengeras suara untuk melantunkan adzan. Hal ini dapat kita lihat dari menara masjid masa lalu yang bangunannya lebih tinggi dari rumah-rumah penduduk. Tujuannya tentu saja agar muadzin yang melantunkan adzan dari menara tersebut jangkauan suaranya bisa lebih luas. Nah kalau sudah ada pengeras suara, kenapa pula muadzin harus berteriak-teriak menghabiskan suara diujung menara.

Tentang riba. Melakukan riba itu tidak apa-apa. Asalkan tidak terlalu banyak. Karena Rasulullah pernah memberikan kelebihan (tambahan) ketika beliau membayar hutang. Dan hal demikian itu (memberikan tambahan-pen) merupakan riba. Karena Rasulullah juga pernah bersabda man zaada wa man istazaada fa qod arba. Siapa yang menambah dan meminta tambahan, maka ia telah berlaku riba. Selain itu, jika seseorang memberikan pinjaman dalam jumlah besar yang pengembaliannya diangsur selama 15 tahun misalnya, tanpa ia meminta bunga, maka ia akan menderita kerugian. Karena nilai uang saat ini dan nilai uang 15 tahun mendatang akan berbeda. Atau dalam istilah ekonominya dinamakan dengan nilai waktu uang. Dan argumentasi beliau tentang riba dan nilai waktu uang tersebut logis. Saya setuju jika alasan pengambilan riba karena adanya nilai waktu uang. Bukankah alasan utama dilarangnya riba karena hal tersebut merugikan satu pihak?.

Sebenarnya mungkin masih ada lagi beberapa pemikiran Pak Dosen yang nyentrik. Tapi hanya itu yang masih nyantol dengan agak baik dipikiran saya. Yang lainnya cuma kelebat-kelebat tak jelas. Dan walaupun saya coba paksa untuk menuliskannya, saya tidak menemukan kata yang tepat untuk mewakili kelebatan-kelebatan ingatan itu selain ke-tidak jelasan pula.

Intinya saya ingin menyampaikan rasa salut saya kepada Pak Dosen. Atas pemikiran-pemikiran beliau yang antimaesntream itu. Bahwa Islam bukanlah monumen yang beku. Melainkan suatu organisme yang hidup dan berkembang. Al Quran dan Hadits memang sudah berhenti bertambah sejak 14 abad yang lalu. Namun penggalian-penggalian makna terhadap dua sumber hukum utama kaum muslimin itu tidak boleh berhenti. Karena seperti yang kita tahu, berkembangnya dunia ini diiringi pula dengan munculnya berbagai masalah baru yang menuntut pemecahan dengan segera. Dan solusi dari masalah-masalah tersebut terkadang tidak bisa kita temukan begitu saja dalam teks Al Quran dan Hadits. Harus ada penggalian dan penggalian. (DPM)

3 komentar:

  1. wah...mumet kalo sudah ngomongin soal beda pendapat soal agama

    BalasHapus
  2. Saya sangat suka dengan tulisan ini, berawal jalan2 ke kotareyog trus terdampar disini. Tulisannya bagus, secara tidak langsung saya dapet pengetahuan baru dr sini haha salam kenal..

    BalasHapus