Kamis, 27 April 2017

Masjid Kalimantan dan Corak Islam Indonesia

Masjid Kyai Gede Kotawaringin


Membaca persebaran agama Islam di tanah Kalimantan, sejauh yang saya tahu ternyata banyak kesamaan atau justru terpengaruh dari Jawa. Hal yang paling mencolok yang tampak dalam pengamatan saya adalah bangunan-bangunan Surau atau Masjidnya. Kebanyakan bentuknya mirip dengan bangunan Masjid Demak. Atau dalam hal ini mirip dengan bangunan Pura, tempat Ibadah Umat Agama Hindu yang atapnya bersusun-susun.

Di tanah Jawa tempo dulu, pada masa awal penyebaran Agama Islam oleh Walisongo, tempat-tempat ibadah (Masjid) memang sengaja dibangun menyerupai Pura. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang pada mulanya beragama Hindu tidak segan atau merasa asing ketika memasuki Masjid. Bangunan Masjid yang diadaptasi dari Pura ini, kemudian mencadi corak dan khazanah tersendiri. Terutama bagi Muslim Indonesia di Tanah Jawa. Ketika menemukan banyak bangunan Surau dan Masjid di Kalimantan yang memiliki corak serupa, lantas timbulah dugaan saya bahwa Islam di Kalimantan mirip dengan Islam di Tanah Jawa.

Kamis, 20 April 2017

Pondasi Peradaban



Arca Prabu Airlangga
Tholabul ilmi fariidhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin.

Begitu kira-kira kaligrafi Arab bergaya Kufi yang tertulis di tembok kelas Pesantren saya kala itu. Tak hanya indah, kaligrafi ini juga menarik untuk diresapi maknanya. Satu kata dari kaligrafi itu yang kemudian perlu kita perhatikan lebih mendalam. Disitu tertulis fariidhoh. Dengan menambah huruf ya setelah ro.

Dalam keadaan biasa, kata fardhun yang berarti wajib, cukup ditulis dengan apa adanya. Sehingga, hadirnya huruf ya ini tampaknya memang mengandung maksud tersendiri yang khusus. Dan ini tidaklah mengherankan. Mengingat ujaran itu diucapkan oleh sosok paling jenius sepanjang masa. Rasulullah Muhammad SAW.

Penambahan huruf ya tersebut, jika ditelisik menggunakan gramatikal Bahasa Arab, yang dalam istilah Pesantren dikenal dengan ilmu Nahwu, dapat berarti ‘sangat’. Sehingga tulisan kaligrafi di kelas saya tersebut, jika diterjemahkan artinya akan menjadi seperti ini; “Mencari ilmu hukumnya sangat wajib bagi setiap kamu muslimin. Baik laki-laki maupun perempuan.”

Kamis, 06 April 2017

Kyai Gede Kotawaringin, Siapa Sebenarnya?

Panji, di Makam Kyai Gede


Sudah lumayan lama saya tau kalau di Kotawaringin Lama, Kota Kecamatan untuk desa yang saya tinggali sekarang ada sebuah Maqom yang sering diziarahi. Namun, kesempatan untuk mengunjungi Maqomnya secara langsung baru terlaksana beberapa tahun yang lalu. Tepatnya mungkin sekitar tiga atau empat tahun. Diajak oleh Bapak ziaroh. Kedudukan Maqom tokoh tersebut mungkin sama dengan para wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa.

Masyarakat Kotawaringin dan sekitarnya sering menyebut tokoh tersebut sebagai Kyai Gede. Dan tak ada yang tahu siapa nama sebenarnya dari Kyai Gede tersebut. Dahulu, dalam pikiran kecil saya, Beliau dipanggil dengan Kyai Gede mungkin karena fisik beliau yang memang Gede dan Tinggi. Terbukti dari panjang Maqom Beliau yang ukuran panjangnya mencapai lima meter. Tapi tentu saja itu hanyalah pikiran konyol. Karena ternyata banyak pula Maqom Auliya di Tanah Jawa yang dibangun panjang demikian. Maqom Raden Fatah di Demak misalnya.

Perkenalan dengan tokoh Kyai Gede kemudian tejadi kembali pada kunjungan saya ke rumah Bapak dan Mamak kali ini ke Kalimantan. Permulaannya sungguh tak terduga. Terjadi ketika saya menunggu jam keberangkatan pesawat dari Bandara Surabaya menuju Kalimantan. Saat itu, secara kebetulan saya duduk bersebelahan dengan seorang Bapak-bapak (saya lupa namanya) asal Nganjuk dan tinggal di Malang yang menurut prediksi saya adalah tokoh agama. Terlihat dari pancaran wajah dan jenggot beliu yang dipelihara panjang.